Ayat dan Hadist Ekonomi Islam
“studi tentang Akad Syirkah dan
Mudharabah”
Pendahuluan
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal,
dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan
kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal)
membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai
pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam
agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang
yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang
tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para
pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena
itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk
saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Syirkah
menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan
kerugiannya ditanggung bersama. Landasan hukum syirkah terdapat dalam Al Quran
surat 38 ayat 34 yang artinya adalah “ Sesungguhnya kebanyakan orang-orang
yang berserikat itu sebagian dari mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan amat sedikitlah
mereka ini.” Dan dalam sabda Rasulullah yang artinya “ Aku ini ketiga
dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati
temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya, aku keluar
dari antara mereka.”
Pembahasan
Pengertian Mudharabah
Mudharabah
berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia
Allah yaitu rizeki[1].
Mudharabah adalah
salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam
berdagang. di dalam fiqh Islam di sebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz
menyebutkan dengan qiradyang berarti al-qat’ (potongan)[2]. Pemilik
modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya
(salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mudharabah
berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah
menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang
lain sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara
mereka berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Sedangkan menurut
istilah syara’, Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama
dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak
lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara
mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara terminologi,
para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau qirad dengan :
أَنْ يَدْ فَعٍ اَلْمَا لِكُ اِلَى الْعَامِلُ
مَالًايَتَجَرَ فِيْهِ وَيَكُوْنُ الَّربْحُ مُشْتَرِكًا
Pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan oleh
pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi
menurut kesepakatan bersama.
Secara teknis,
al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si
pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si
pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dasar
Hukum Mudharabah
1. Al-Qur’an
Akad
Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak
diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan
uangnya, sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak
memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan
modal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara
pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal tersebut.
Pada masa jahiliyyah
qirad telah dilaksanakan, kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu
agama Islam. Timbulnya qirad karena menjadi kenyataan hajat bagi setiap
manusia. Qirad ini memberikan nilai tambah antara keduanya yang mengandung
sifat tolong menolong, karena orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai
berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi
mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal, maka keduanya bisa
saling mengisi demi kemajuan bersama.
Qirad benar-benar
diakui keberadaannya di dalam hukum Islam (Syariat Islam) berdasarkan dalil
naqly baik berupa nash maupun berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. Dalil naqly
tersebut sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu kepada Allah dan
tinggalkanlah (jangan pungut) apa pun bentuk riba yang masih ada, jika kamu
benar beriman kepada-Nya. Jika kamu tidak mau meninggalkannya, maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rosul-Nya akan menerangimu. Tapi, jika kamu tobat (kembali
kepada ajaran Allah), maka kamu boleh menerima modalmu, sehingga kamu tidak
menganiaya si peminjam dan kamu tidak pula dianiayanya”. (QS. Al-Baqarah: 278-279).
Ayat Al-Qur’an lain
yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk bekerjasama mencari
rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi adalah:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari
Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).
Maksud dari QS.
al-muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata
Mudharabah yang berarti melakuakn suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu”. (QS.
Al-Baqarah: 198)[3].
2. Hadist
Sebelum
Rasulullah diangkat menjadi Rasul,
Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari
Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk
diperdagangkan.
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ
فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ
بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah saw
bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli
secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan
gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.”
كَانَ سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ
اِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ
بَحْرًا, وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ
رَطْبَةٍ فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ
“Abbas bin
Abdul Muthallib jika
menyerahkan harta sebagai Mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar
tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya”(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)[4].
3. Ijma’
Ibnu Syihab pernah
meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar
bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian
Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian
bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab
Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman
telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat
oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya,
maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
Syarat dan Rukun Mudharabah
Syarat yang harus
dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah[5]:
1. Harta atau Modal
a. Modal harus
dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang, maka
barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar
(atau sejenisnya).
b. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
c. Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk
memungkinkannya melakukan usaha.
2. Keuntungan
a. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti. Keuntungan yang
menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas prosentasinya.
b. Kesepakatan rasio prosentase harus dicapai
melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan
setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib
al-mal.
Menurut madzhab
Hanafiyah rukun Mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang
menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda setuju (terima) dari
pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak (qabul), jika
pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu
telah memenuhi rukunnya dan sah.
Sedangkan menurut
jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
a) Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib
al-mal dan pengelola dana/pengusaha/mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal
dan sudah baligh (berumur 15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga
harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
b) Materi yang diperjanjikan atau objek yang
diakadkan terdiri dari atas modal (mal), usaha (berdagang dan lainnya yang
berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut), keuntungan;
c) Sighat, yakni serah/ungkapan penyerahan
modal dari pemilik modal (ijab) dan terima/ungkapan menerima modal dan
persetujuan mengelola modal dari pemilik modal (qabul)[6].
Pengertian Syirkah
Syirkah
menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan
kerugiannya ditanggung bersama. Landasan hukum syirkah terdapat dalam Al Quran
surat 38 ayat 34 yang artinya adalah “ Sesungguhnya kebanyakan orang-orang
yang berserikat itu sebagian dari mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan amat sedikitlah
mereka ini.” Dan dalam sabda Rasulullah yang artinya “ Aku ini ketiga
dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati
temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya, aku keluar
dari antara mereka.”
Dasar Hukum Syirkah
Dasar di
syariatkannya syirkah adalah Al qur’an, hadis, ijma’, dan logika. Dasar dari Al
qur’an adalah firman Allah :
فَابْعَثُوْاأَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى
اْلمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرُأَيُّهَااَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْ تِكُمْ بِرِزْقٍ
مِنْهُ
“Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, lalu hendaklah dia membawa makanan itu
untukmu.” (Surat Al-Kahfi(18): 19).
Hal ini karena
al waraq ( uang perak ) dalam ayat di atas adalah milik bersama bagi ashabul
kahfi.
Dasar dari
hadist ,banyak hadis yang menjelaskan dalam hadis yang menerangkan tentang
syirkah.di antaranya dalam hadis yang bersumber dari As Said bahwa ia berkata
kepada nabi :
كُنْتَ شَرِيْكِي فِي الْجَا هِلِيَّةِ فَكُنْتَ
خَيْرَشَرِيْكٍ لاَتُدَارِيْنِيْ وَلاَتُمَارِيْنِيْ
” Dulu pada zaman
jahiliah engkau menjadi mitra ku. Engkau mitra yang paling baik,engkau tidak
membantahku” ( Riwayat Abu Dawud An Nasa’i dan Al Hakim, dan dia
menshahihkanya )[7]
Hadist di atas
di syariatkanya syirkah karena nabi juga mempratekanya. Dasar dari ijma’ adalah
bahwa kita telah melihat kaum muslimin mempratekkan syirkah dalam perdagangan
sejak abad pertama sampai saat ini, tanpa ada seseorang pun yang menyangkalnya.
Demikian ini adalah ijma’.
Dasar dari logika adalah bahwa manusia membutuhkan kerjasama syirkah. Karena
itulah islam melegalkannya. Di samping itu, karena melarang syirkah akan menyebabkan kesulitan bagi
manusia. Islam tidak hanya membolehkan syirkah , tetapi lebih dari itu , islam
menganjurkannya,hal ini sebagaimana firman Allah:
وَابْتَغُوْامِنْ فَضْلِ اللهِ
Artinya:......dan
carilah karunia Allah.....(surat Al jumuah (62):10)1
Macam-Macam Syirkah
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1)
syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan(5)
syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).
An-Nabhani
berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam,
sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan
ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut
ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam,
yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah
inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani,
1990: 151).
Syirkah ‘Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi
kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis)
ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir,
pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut
juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).
Syirkah
‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar
bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang
Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal
itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak
lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah
mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath,
Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah
wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan
konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan
konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga
berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk
kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani,
1990: 154).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah
mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)
(An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian
ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan
yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Penutup
Kesimpulan
Mudharabah adalah
salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam
berdagang. di dalam fiqh Islam di sebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz
menyebutkan dengan qiradyang berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal memotong
sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu
pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan,
dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mudharabah berasal dari akar
kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu bepergian untuk urusan
dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah menurut bahasa berarti
ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha
di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka berdua, dan apabila
rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Syirkah menurut bahasa berarti
percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama. Dan syirkah mempunyai macam-macam yaitu : Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah
inân; (2)
syirkah abdan; (3)
syirkah mudhârabah; (4)
syirkah wujûh; dan(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).
Daftar Pustaka
Rasjid, sulaiman;
Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011.
Hal. 299
Rasjid, sulaiman;
Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011.
Hal. 299
[6] Rasjid, sulaiman; Fiqh Islam
(hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011. Hal. 299
Komentar
Posting Komentar