Ekonomi dan Akhlak
“Studi Nilai – Nilai etis
dalam Perilaku Ekonomi”
Pendahuluan
Tujuan
manusia dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Yang menjadi masalah adalah kebahagiaan
yang bagaimana dan bagaimana mencapainya? Salah satu cara untuk mencapainya
adalah merumuskan aturan, etika, moral pribadi, dan masyarakat yang menentukan
apa yang baik dan apa yang buruk. Jadi, semua manusia diharapkan melakukan yang
baik dan menghindari yang buruk sehingga tercipta keteraturan yang membuat
kehidupan manusia berjalan teratur dan manusia diharapkan akan merasakan
kebahagiaannya.
Etika adalah istilah yang sangat banyak digunakan dalam
berbagai pengertian, dan kita selalu bingung karena kata ini sering digunakan
dalam berbagai versi dan bersinggungan dengan kata lain, seperti moral, akhlak
dan sebagainya.
Menurut Sen (1987), perilaku manusia biasanya dipengaruhi
oleh pertimbangan etika dan yang mempengaruhi tindak-tanduk manusia adalah
aspek terpenting dalam etika. Ini berarti semua pertimbangan pribadi, termasuk
kesejahteraan ekonomi, masuk dalam faktor yang mempengaruhi manusia. Menurut
Bertens (1993:4), secara sederhana, etika adalah ilmu tentang apa yang dapat
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun, karena kata ini banyak
digunakan dalam berbagai nuansa, minimal ada tiga nilai etika.
Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
kedua, kumpulan asas atau nilai moral, ketiga, ilmu tentang yang baik atau
buruk. Sementara itu menurut Bertens, moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Pembahasan
A.
Dialektika
Agama, Moral dan etika dan implikasinya dalam ekonomi.
Ø Dialektika Agama
Dialektik (Dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, tetapi ada pula yang mengartikan
Dialektika adalah pemikiran, jadi Dialektika agama adalah pemikiran tentang
agama. Islam adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti
bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat
diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif
artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (syumul).
Kesempurnaan ajaran Islam, dikarenakan Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, tidak saja aspek spiritual (ibadah murni), tetapi juga aspek
mu’amalah yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sebagainya.
Al-Qur’an
secara tegas mendeklarasikan kesempurnaan Islam tersebut. Ini dapat
dilihat dalam beberapa ayat, seperti pada surat Al An’am ayat 38,
“Sedikitpun tidak kami lupakan di dalam kitab suci Al-Qur’an (QS. 6:38);
surat Al-Maidah ayat 3 “Pada hari ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan
Kusempurnakan bagi kamu nikmatKu dan Aku ridho Islam itu sebagai agama
kamu”. Dalam ayat lainnya Allah berfirman, “Kami menurunkan Al-Qur’an untuk
menjelaskan segala sesuatu” (QS.16:89).
Kesempurnaan
Islam ini tidak saja disebutkan dalam Al Quran, namun juga dapat dirasakan baik
itu oleh para ulama dan intelektual muslim sampai kepada non muslim.
Seorang orientalis paling terkemuka bernama H.A.R Gibb mengatakan, “Islam
is much more than a system of theologi its a complete civilization” (Islam
bukan sekedar sistem theologi, tetapi merupakan suatu peradaban yang lengkap).
Sehingga
menjadi tidak relevan jika Islam dipandang sebagai agama ritual an sich,
apalagi menganggapnya sebagai sebuah penghambat kemajuan pembangunan (an
obstacle to economic growth). Pandangan yang demikian, disebabkan mereka
belum memahami Islam secara utuh.
Sebagai ajaran
yang komprehensif, Islam meliputi tiga pokok ajaran, yaitu Aqidah, Syari’ah dan
akhlak, Hubungan antar aqidah, syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin
sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif.
Aqidah adalah
ajaran yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan seseorang terhadap
Tuhan, Malaikat, Rasul, Kitab dan rukun iman lainnya. Akhlak adalah ajaran
Islam tentang prilaku baik-buruk, etika dan moralitas. Sedangkan syariah adalah
ajaran Islam tentang hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
Syariah Islam
terbagi kepada dua yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga
ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan khaliq-Nya. Muamalat dalam
pengertian umum dipahami sebagai aturan mengenai hubungan antar manusia. Salah
satu aspek penting yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi.
Ajaran Islam tentang ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Alquran
dan Hadits. Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip
tauhif, adil, maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan, dan
sebagainya.
Prinsip-prinsip
ini menjadi landasan kegiatan ekonomi di dalam Islam yang secara teknis operasional
selalu berkembang dan dapat berubah sesuai dengan perkembanga zaman
dan peradaban yang dihadapi manusia. Contoh variabel yang dapat berkembang
antara lain aplikasi prinsip mudharabah dalam bank atau asuransi.
Pada masa
dahulu aplikasinya sangat sederhana dan berlangsung antara dua pihak. Pada masa
sekarang ketika mudharabah masuk dalam dunia perbankan aplikasinya mengalami
pengembangan. Demikian pula penerapan bai’ istishna’ dalam
pembangunan suatu proyek. Ini adalah pengembangan dari konsep jual biasa yang
diajarkan Alquran dan Sunnah. Tugas cendikiawan muslim sepanjang sejarah adalah
mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan situasi,
kondisi dan perkembangan zaman.
Dengan
demikian, ciri khas aspek muamalat (ekonomi) adalah cakupannya yang luas
dan bersifat elastis, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
perubahan tempat. Ajaran muamalat khususnya dalam ekonomi lebih tampak
sifat universalnya. Hal ini karena dalam bermuamalat di bidang ekonomi tidak
membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu
ungkapan yang diucapkan oleh Khalifah Ali :
“ Dalam bidang muamalat kewajiban
mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”.
Ø Moral
Adapun
arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari
kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia
dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.
Selanjutnya
moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan
kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika
pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat
mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik
atau buruk.
Namun
demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral
tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran
filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran
realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan
demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Ø Etika
Secara etimologi,Etika (ethics) yang berasal dari
bahasa Yunaniethikos mempunyai beragam arti : pertama, sebagai analisis
konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral,
benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke dalam
watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan
yang baik secara moral.
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan
pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam
pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika
dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga,
etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk.
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika
atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Adapun
Implikasi moral dan etika dalam ekonomi adalah sebagai berikut:
Ø
Implikasi Etika
Adapun
penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual,
organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis
mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab
pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua,
pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan
perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya.
Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan
berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis
sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis,
misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas
hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis.
Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang
tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas,
semangat persaingan, dan manajemen konflik.
Ø
Implikasi moral
·
Konsep Kepemilikan
Pemilikan
dalam Islam terletak pada pemilikan kemanfaatannya dan bukan menguasai secara
mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Seorang muslim yang tidak memproduksi
manfaat dari sumber daya yang diamanatkan oleh Allah SWT padanya akan
kehilangan hak atas sumber- sumber tersebut, seperti hak atas pemilikan
tanah atau lahan. Hadits Nabi Muhammad SAW:
”Barangsiapa menghidupkan
sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan tida berhak
memilikinya orang yang sekedar memagarinya dengan tembok setelah tiga tahun.”
Al-Qur’an dalam
berbagai ayatnya menegaskan bahwa kekayaan dan kemakmuran merupakan karunia
Allah SWT. Pemilikan yang bersifat perorangan juga tidak dibolehkan atas
sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat orang
banyak. Sumber-sumber tersebut menjadi milik umum atau negara.
Hadist tersebut
juga dikaitkan dengan empat macam barang tambang seperti minyak bumi, serta
barang kebutuhan pokok kehidupan manusia pada waktu dan kondisi tertentu.
Masuk dalam kategori ini termasuk air minum, hutan, laut dan isinya, udara dan
ruang angkasa.
·
Konsep Keseimbangan
Konsep
keseimbangan berkaitan dengan tujuan yang bersifat jangka panjang yakni
kebaikan dunia dan akhirat. Disamping itu juga terkait dengan kebebasan
individu dan kepentingan umum yang harus dipelihara, growth with equity
tampil dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Atau dengan kata lain keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Menurut
Saefudin, konsep keseimbangan ini dapat dilihat pengaruhnya dalam berbagai
aspek tingkah laku ekonomi Islam seperti kesederhanaan (moderation),
berhemat (parsimony), dan menjauhi pemborosan (extravagance).
Apabila
suatu keseimbangan ini terganggu maka akan terjadi ketimpangan-ketimpangan
sosial-ekonomi dalan kehidupan masyarakat maka harus ada tindakan mengembalikan
keseimbangan semula. Kelaparan, kemiskinan ditengah-tengah kekayaan (poverty
in the midst of plenty), kelangkaan tenaga kerja dan lain-lain yang terjadi
akibat terganggunya keseimbangan.
Dalam
keadaan demikian Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Bila aku mempunyai waktu
lebih banyak di masa mendatang, aku akan mengadakan redistribusi kekayaan
dengan mengambil kelebihan dari yang kaya dan memberikan kepada yang miskin.”
·
Konsep Keadilan
Keadilan
adalah nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan
memberantas kezaliman adalah tujuan utama risalah para rasul. Terminologi
keadilan disebutkan dalam beberapa istilah antara lain ’adl, qisth, mizan,
hiss, qasd. Sedangkan kezaliman adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya.
Dengan
berbagai muatan makna adil secara garis besar didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak
kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati paembangunan dan tidak adanya
pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
Konsep
keadilan dalam Islam dimaknai sebagai kebebasan bersyarat akhlak Islam.
Kebebasan akan mengakibatkan ketidak-seimbangan antara pertumbuhan dengan
hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan berlimpah,
mempertajam gap antara si kaya dan si miskin, dan akhirnya dapat menghancurkan
tatanan sosial. Oleh karenanya keadilan harus diterapkan dalam semua fase
kegiatan ekonomi, baik dalam prosuduksi, konsumsi, dan lain-lain
B.
Moral altruis
dalam filsafat sosial dan perbandingannya dengan akhlak dalam Islam dan
pengaruhnya dalam ekonomi
Ø Moral altruis dalam filsafat social
Altruisme
didefinisikan sebagai sikap perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa
memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam
banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering
digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti
Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme
adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari
altruisme adalah egoisme.
Altruisme dapat
dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan
perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan
kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian
pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi
khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb).
Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang
lainnya tidak.
Altruisme murni
memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Konsep ini telah ada
sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir ini
menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner),sosiologi,
biologi, dan etologi.
Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme. Berbagai penelitian terhadap altruisme tercetus terutama saat pembunuhan Kitty Genovese tahun 1964, yang ditikam selama setengah jam, dengan beberapa saksi pasif yang menahan diri tidak menolongnya.
Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme. Berbagai penelitian terhadap altruisme tercetus terutama saat pembunuhan Kitty Genovese tahun 1964, yang ditikam selama setengah jam, dengan beberapa saksi pasif yang menahan diri tidak menolongnya.
Istilah
“altruisme” juga dapat merujuk pada suatu doktrin etis yang mengklaim bahwa
individu-individu secara moral berkewajiban untuk dimanfaatkan bagi orang
lain.Konsep ini memiliki sejarah panjang dalam filosofis dan etika berpikir.
Istilah ini awalnya diciptakan oleh pendiri sosiologi dan filsuf ilmu
pengetahuan, Auguste Comte, dan telah menjadi topik utama bagi psikolog
(terutama peneliti psikologi evolusioner), biologi evolusioner, dan etolog.
Sementara ide-ide tentang altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak
pada bidang lain, metode yang berbeda dan fokus bidang-bidang ini menghasilkan
perspektif yang berbeda pada altruisme.
Beberapa ahli
memberikan definisi secara khusus tentang altruisme, diantaranya:
·
Walstern, dan Piliavin (Deaux, 1976).
Perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang
timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut
bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma–norma tertentu, tindakan
tersebut juga merugikan penolong, karena meminta pengorbanan waktu, usaha,uang
dan tidak ada imbalan atau pun reward dari semua pengorbanan.
·
Sears dkk (1994)
Altruisme adalah tindakan suka rela yang dilakukan
oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong orang lain tampa
mengharapkan imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan
perbuatan baik.
·
Macaulay dan Berkowitz (1970)
Altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong
orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga
sebagai tindakan tanpa pamrih. Altruisme dapat juga didefinisikan tindakan
memberi bantuan kepada orang lain tanpa adanya antisipasi akan reward atau
hadiah dari orang yang ditolong.
·
Baston (2002)
Altruisme adalah respon yang menimbulkan positive
feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistic,
keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altuistik tersebut muncul
karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling
sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain. Dua alas an
internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation (egocentrism).
·
Borrong (2006)
Altruism diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan
pada kebaikan orang lain. Suatu tindakan altruistic adalah tindakan kasih yang
dalam bahasa Yunani disebut Agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau
memperlakukan sesama dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu
dan tanpa dirasuki oleh
kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut disebut moralitas altruistic, dimana tindakan menolong tidak sekedar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tertapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesame tanpa pamrih. Dari hal tersebut seseorang yang altuistik dituntut memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.
kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut disebut moralitas altruistic, dimana tindakan menolong tidak sekedar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tertapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesame tanpa pamrih. Dari hal tersebut seseorang yang altuistik dituntut memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.
Ø Perbandingan moral altruis dengan akhlak dalam Islam
Perbandingannya adalah kalau akhlak itu lebih bersumber
dari Al-qur’an dan hadist, dan hendaknya perbuatan akhlak itu dilakukan secara
ikhlas. Jadi bagi seseorang yang mempraktikan akhlak yang terpuji, disamping
karena tanpa tekanan dan muncul secara otomatis, juga dilakukan karena
mengharap ridho Allah SWT, sedangkan kalau moral itu lebih berasal dari tradisi lokal atau adat istiadat di tempat
tersebut, tidak mengharuskan dari Al-qur’an dan Hadist. Yang kedua kalau akhlak
lebih mengandung makna spiritual, karena lebih mengharapkan ridho Allah, dan
ingin mengikuti sunnah Rosulullah. Yang ketiga apabila melakukan kesalahan sanksi
pada akhlak itu di dunia dan akhirat, sedangkan moral hanya di dunia saja.
Ø Pengaruhnya dalam ekonomi.
Saat
ini kebanyakan negara-negara Islam menghadapi banyak masalah yang bersumber
dari kemiskinan dan distribusi kekayaan yang timpang. Padahal dalam ajaran
agama Islam banyak menjelaskan unsur-unsur pertumbuhan ekonomi dan cara sehat
untuk melakukan aktivitas ekonomi serta penyebaran keadilan sosial dan ekonomi.
Mencermati unsur-unsur ini dalam menyusun program ekonomi dan
mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat, diharapkan dapat menghidupkan
lagi peradaban Islam dan menyejahterakan rakyat.
Satu
dari cara pandang efektif Islam tentang masalah ini adalah hubungan erat
nilai-nilai moral dengan ekonomi. Masyarakat Islam dari satu sisi membutuhkan ekonomi
yang dinamis dan terus berkembang agar dapat menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat. Sementara pada saat yang sama, masyarakat Islam perlu memperkuat
nilai-nilai moral dalam budaya masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapat
menyehatkan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya mampu menyiapkan kebahagiaan
akhirat setiap individu yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, harus dikatakan
bahwa cita-cita ajaran Islam adalah mempersiapkan kebahagiaan dunia dan akhirat
manusia.
Di
masa kini, pemisahan moral dari ekonomi benar-benar transparan. Sebab utama
mengapa para pakar ekonomi memilih pemisahan moral dari ekonomi kembali pada
cara pandang mereka akan manusia dan posisinya di dunia. Cara pandang yang
muncul pasca Renaisance berdasarkan pemikiran Humanisme yang berujung pada
pemisahan manusia dari Tuhan, agama dari sosial dan hukum serta ekonomi dari
moral.
Dalam
pemikiran Deisme yang muncul pada abad ke-17 di Eropa, manusia telah dipisahkan
dari ajaran ilahi dan wahyu. Pemikiran ini menyebut Tuhan sebagai sumber
penciptaan dunia dan setelah itu alam secara otomatik melanjutkan sendiri
kehidupannya. Artinya, manusia pasca penciptaan sudah tidak butuh lagi pada
petunjuk ilahi. Pemikiran ini mengakibatkan manusia sudah tidak lagi dikungkung
oleh aturan individu. Semua ini mengakibatkan pemisahan ekonomi dari moral dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Penutup
Kesimpulan
Etika
menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik
dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran. moral adalah penetuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan
batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar,
salah, baik, buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut.
Akhlak
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup
segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik
maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk.
Ketiga
hal tersebut (etika, moral dan akhlak) merupakan hal yang paling penting
dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling
baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
seorang sahabat yang mulia menyatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.”(HR.Bukhari dan
Muslim).
Daftar Pustaka
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis
dalam Perspektif Islam, Salemba Empat, Jakarta, 2011
Dr. H. Muhammad Djakfar.
SH.,M,Ag., Etika Bisnis Islami (tataran teoritis dan praksis),UIN Malang Press,
2008
Komentar
Posting Komentar