Pajak dan Lembaga Amil studi Ajaran Islam
Pendahuluan
Dalam
melaksanakan pembangunan pemerintah membutuhkan dana pemenuhan hal-hal yang di
butuhkan. Dana trsebut diambil oleh pemerintah melalui pajak yang diambil dari
masyarakat sehingga pajak ini menjadi salah satu kewajiban masyarakat.namun
disisi lain, selain adanya kewajiban untuk membayar pajak, masyarakat yang
beragama Islam mempunyai kewajiban lain yang harus ditunaikan yaitu zakat.
Kedudukan zakat
sangatlah penting sehingga keberadaan suatu lembaga pengelola zakat itu sendiri
juga menjadi sangat penting.
Pembahasan
Pengertian
Pajak
Dalam
istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ
(Al-Usyr) atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa
juga disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang
artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” . Atau
suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ
(Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang
berkaitan dengan tanah secara khusus. Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”.[1]
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”.[1]
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak
adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbalan, yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (public
investment). [2]
Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. [3]
Dasar Hukum Pajak
Di
Indonesia dasar hukum tentang pajak diatur dalam UUD (Undang-Undang Dasar 1945
yaitu pasal 23 yang berbunyi:
“ Pajak dan
pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang”.
Di dalam hukum
Islam, dasar membayar pajak itu hukumnya adalah boleh, berdasarkan kepada
Al-Qur’an Surat At-Taubah:29:
“perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula beriman kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh ALLAH dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu
orang-orang yang diberi alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar “Jizyah”
dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Pendapat Ulama Tentang Pajak
Pajak
sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam
sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada
kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat
Pertama :
menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin,
karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan
hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar
Rasulullah saw bersabda :
لَيْسَ
فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali
zakat. " ( HR
Ibnu Majah).
Pendapat
Kedua :
menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara
sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus
terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan
Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan
Imam Ibnu Hazm. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah
binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ
فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak
(untuk dikeluarkan) selain zakat." ( HR Tirmidz).
Jenis-Jenis Pajak dalam Islam
Pada masa Nabi Muhammad
saw dan para sahabat, dikenal beberapa model atau struktur pendapatan negara.
Ibrahim Husein menilai bahwa tradisi pajak rupanya terus bergulir hingga
pemerintahan arab pra Islam. Setelah Islam datang banyak bentuk pajak yang
eksistensinya diakui dan dibenarkan. Jenis-jenis pajak yang ada dalam islam
adalah:[4]
a)
Pajak kekayaan,
penetapan pajak ini dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya (sebagai syar’i) dalam
bentuk zakat.
b)
Jizyah, pajak
yang dikenakan pada kalangan non muslim (kafir dzimmi: orang kafir yang meminta
perlindungan kepada pemerintah Islam dengan perjanjian untuk mematuhi peraturan
dan Undang-Undang yang berlaku di wilayah itu). Jizyah dianggap sebagai imbalan
atas jaminan perlindungan kehidupannya misalnya harta benda, ibadah keagamaan,
keselamatan jiwa dan hak-hak asasi mereka. Islam memang menawarkan 3 pilihan
kepada kaum kafir , yakni memeluk agama Islam, membayar Jizyah, atau berperang.
c)
Kharaj, yaitu
pajak bumi yang berkaitan dengan tanah perolehan kaum muslimin saat perang dan
pengolahannya diserahkan kepada pemiliknya. Sebagai imbalan, para pengelola
tanah harus menyerahkan pajak bumi kepada pemerintah Islam.
d)
‘Usyur, yakni
pajak perdagangan yang berkaitan dengan aktivitas mengirim atau memasukkan
barang dari luar negeri (ekspor-impor).
e)
Pajak darah (dharibah
al-dam), keharusan untuk menyerahkan jiwanya demi menegakkan agama Allah
dengan ikut serta dalam perang.
f)
Barang Rampasa Perang, menahan seperlima bagian dari
seluruh hasil rampasan perang untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini berdasarkan
ayat Al-Qur’an,” Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir”. (Q.S,
Al-anfal 8;41) .
Persamaan
Pajak dan Zakat
Secara
etimologi, menurut pengarang Lisan al-‘arab, kata zakat (al-Zakah)
merupakan kata dasar (mashdar) dari zaka yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan
terpuji. Sedangka menurut terminologi fiqh seperti yang dikemukakan oleh
pengarang Kifayah al-Akhyar, Taqiy al-Din Abu Bakar, zakat berarti
“sejumlah harta tertentu yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak dengan
syarat tertentu[5]”.
Seperti firman Allah dalam surat al-Taubah (9): 103:
“
ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka, dan berdoa lah”.
Persamaan
zakat dengan pajak adalah sebagai berikut:[6]
a.
Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk
suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
b.
Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga
resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
c.
Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak
dikelola oleh negara.
d.
Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya
yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Dan sebagai sumber dana untuk mewujudkan
suatu masyarakat adil makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan
meterial dan spiritual.
Namun dengan
semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa begitu saja disamakan dengan
zakat.
Perbedaan Zakat dengan Pajak
Ternyata
terdapat perbedaan yang mendasar antara zakat dengan pajak. Sehingga menyamakan
begitu saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal. Pajak bisa digunakan
untuk membangun jalan raya, dan dalam banyak hal bisa lebih leluasa dalam
penggunaannya. Sedangkan zakat, dalam penggunaannya akan terikat ke dalam
Ashnaf sebagai pada tercantum dalam Al Quran. Zakat dengan dalih apapun
tidak dapat disamakan dengan pajak. Zakat tidak identik dengan pajak. Berikut
adalah perbedaan zakat dengan pajak:
perbedaan
|
zakat | pajak |
Arti Nama
|
Suci,
Tambahan, dan Berkah.
|
Al-dharibah
(utrang), beban yang dipaksakan.
|
Pengertian
|
Ibadah yang
diwajibkan kepada umat sebagai tanda syukur kepada Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
|
Kewajiban
atas warga negara, baik muslim maupun non muslim, yang tidak dikaitkan dengan
ibadah.
|
Ketentuan
|
Zakat berasal
dari Allah dan rasul-Nya, baik masalah nisbah, kadar, atau penyalurannya.
|
Bergantung
pada kebijakan pemerintah.
|
Sifat
|
Kewajiban
yang permanen tak akan berubah selama-lamanya, tak terhapus oleh siapapun dan
kapanpun.
|
Pajak bisa
berkurang, bertambah, atau bahkan dihapus sesuai kebijakan sang penguasa.
|
Objek Alokasi
Penerima
|
8 golongan
seperti yang dijelaskan dalam suarat al-Taubah (9):60.
|
Penyalurannya
lebih luas sesuai dengan kebutuhan suatu negara.
|
Subyek
|
Muslim
|
Semua warga
negara
|
Harta yang
Dikenakan
|
Harta
produktif
|
Semua Harta
|
Motivasi
Pembayaran
|
Keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
|
Ada
pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib
pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat.
|
Pengertian Lembaga Amil Zakat
Dari
kedua pengertian SKB Mentri Dalam Negri dan Mentri Agama serta UU Nomor 38
Tahun 1999, tampak ada perbedaan. Menurut SKB, BAZUS itu adalah Lembaga swadaya
masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan menurut UU Nomor 38 Tahun
1999, BAZIS itu dibentuk oleh pemerintah. Untuk menangani perbedaan persepsi
itu, maka dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2 selain Badan Amil Zakat
dilengkapi pula dengan Lembaga Amil Zakat yang sama pengertiannya dengan BAZIS
yang dikemukakan SKB. Dengan demikian, dalam struktur organisasi pengelolaan
zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 dibedakan antara Badan Amil Zakat dengan
Lembaga Amil Zakat. Kalau BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ dibentuk
atas prakarsa masyarakat.
Namun demikian, kedua pengelola zakat
itu memiliki tugas dan fungsi yang sama yaitu mengumpulkan, mendistribusikan,
dan mendayagunakan harta zakat yang dikumpulkan oleh umat Islam. Zakat sendiri
mempunyai pengertian yaitu shadaqoh wajib yang berupa jumlah tertentu dari
harta seseorang yang beragama Islam yang telah mencapai nisab atau haul, trus
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Dasar
Hukum Lembaga Amil
Di Indonesia,
pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat yang lalu diikuti dengan Keputuan Mentri Agama(KMA) No. 581
Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan Keputusan
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut
ditegaskan bahwa lembaga pengelola zakat
yang ada di Indonesia adalah Badan amil Zakat yang dikelola oleh negara serta
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. Meskipun dapat dikelola oleh dua
pihak, yaitu negara dab swasta, akan tetapi lembaga pengelola zakat haruslah
bersifat netral, Independen, tidak berpolitis(praktis), tidak bersifat diskriminatif.
Di
dalam Al-qur’an surat At-Taubat ayat 60 juga di jelaskan tentang
pendistribusian zakat. “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf
yang di bujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang bberhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Pendapat
Ulama Tentang Lembaga Amil
Di sebagian kalangan
umat islam timbul berbagai pendapat berkaitan dengan masalah distribusi zakat.
Ada yang berpendapat bahwa karena zakat termasuk masalah ibadah, maka
pendistribusiannya bisa dilakukan secara individu. Pandangan ini terjadi karena
para ulama menghawatirkan jika zakat dikelola oleh pemerintah atau lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah secara langsung,maka besar kemungkinan dana zakat akan
diselewengkan dan tidak dimanfaatkan secara optimal. .Menurut Yusuf Qardhawi
dalam bukunya “Musykilat al-faqr wa Kaif A’alajaha al-Islam”.
Menurutnya, kalau setiap umat islam berpegang pada syariah maka pengeluaran
zakat harus dibayar sepenuhnya kepada amil. Pendapat ini sesuai dengan sabda
Nabi melalui riwayat Jabir ibn Atik yang menerangkan: “jika mereka(amil) adil,
maka pujilah mereka. Dan jika mereka curang, maka merekalah yang memikul
dosanya. Kesempurnaan zakat tergantung pada keridhaan Allah”.
Selain
itu terdapat beberapa alasan yang menegaskan bahwa pendistribusian zakat harus
dilakukan melalui lembaga amil zakat, yaitu:
1. Dalam rangka menjamin ketaatan pembayaran
2. Menghilangkan rasa ringkuh dan canggung yang mungkin dialami oleh
mustahiq ketika berhubungan dengan muzaki
3. Untuk mengefesiensikan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat
4. Alasan caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antar agama
dan negara, karena zakat juga termasuk urusan negara. Selain itu, juga untuk
menegaskan bahwa Islam bukan agama yang menganut prinsip sekularisme, dimana
terdapat perbedaan antara urusan agama dan juga urusan negara.
Jenis Dana yang Dikelola Lembaga Amil Zakat
LPZ menerima dan mengelola berbagai jenis dana, yaitu:
1) Dana
Zakat
Ada dua jenis
dana zakat yang dikelola oleh LPZ, yaitu dana zakatumum dan dana zakat
dikhususkan. Dana zakat umum adalah dana zakatyang diberikan oleh muzakki
kepada LPZ tanpa permintaan tertentu.Sedangkan dana zakat dikhususkan adalah
dana zakat yang diberikan olehmuzakki kepada LPZ dengan permintaan dikhususkan,
misalnya untukdisalurkan kepada anak yatim, dan sebagainya.
2) Dana
Infaq/Shadaqah
Seperti dana
zakat, dana infaq/shadaqah terdiri atas danainfaq/shadaqah umum dan dana
infaq/shadqah khusus. Dana infaq/shadaqahumum
adalah dana yang diberikan para donatur kepada LPZ tanpapersyaratan apapun.
Sedangkan dana infaq/shadaqah dikhususkan adalahdana yang diberikan para
donatur kepada LPZ dengan berbagai persyaatantertentu, seperti untuk disalurkan
kepada masyarakat di wilayah tertentu.
3) Dana
Waqaf
Waqaf adalah
menahan diri dari berbuat sesuatu terhadap hal yangmanfaaatnya diberikan kepada
orang tertentu dengan tujuan yang baik.
4) Dana
Pengelola
Dana pengelola adalah hak amil yang digunakan untuk
membiayaikegiatan operasional lembaga yang bersumber dari:
a)
Hak amil dari dana zakat
b)
Bagian tertentu dari
dana infaq/shadaqah
c)
Sumber lain yang tidak
bertentangan dengan syariah
Inovasi
Lembaga Amil
Persaingan merupakan sesuatu yang positif bagi
lembaga-lembaga ini. Persaingan dalam konteks agama bagi lembaga-lembaga ini
adalah “berlomba-lomba untuk kebaikan”. Dengan adanya persaingan maka lembaga
ZISWAF akan terpacu untuk meningkatkan pelayanan mereka. Beragam inovasi
pelayanan amal pun bermunculan seperti layanan jemput zakat, pembayaran melalui
kartu kredit, paypal, e-payment,
hingga – seperti dilakukan salah satu lembaga zakat terbesar- penyediaan zakat consultant yang memudahkan para donatur untuk
merencanakan “belanja amal” mereka, selain tentunya untuk mencari “prospek”
donatur baru.
Terdapat beberapa
lembaga ZISWAF kenamaan. Seperti, Dompet Dhuafa memposisikan dirinya sebagai
lembaga ZISWAF besar dan berpengalaman yang fokus pada pemberdayaan. Rumah
Zakat memposisikan dirinya sebagai “lembaga zakat” – frase “Rumah Zakat” yang
menjadi nama corporate brand-nya
memberikan kesan bahwa lembaga ini fokus di jenis amal zakat- yang profesional
dan modern. Lain dengan Rumah Yatim yang memposisikan diri sebagai lembaganya
anak yatim. Diferensiasi Rumah Yatim yang punya Apartemen Yatim mempertegas positioning lembaga ini. Sejauh pengamatan penulis
dibanding Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat yang secara by design mentarget segmen profesional perkotaan
dan corporate, Rumah Yatim
memposisikan diri sebagai lembaganya donatur individual. Bahkan dari nuansa
promosi yang dibuat dan dari manuver-manuver pemasaran yang terberitakan di
media massa, lembaga ini fokus mentarget masyarakat yang lebih relijius dan
tidak terlalu progresif. Lain lagi dengan ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang secara
tegas melalui positioning
statement-nya menyatakan “Care For Humanity”. Lembaga ini ingin
memposisikan diri sebagai lembaga kemanusiaan yang peduli pada permasalahan
sosial dan bencana alam. Program-program donasi untuk Gaza dan Somalia juga
melengkapi positioning lembaga ini sebagai lembaga yang punya
reputasi internasional. PKPU dengan tagline “Lembaga Kemanusiaan Tingkat
Nasional” berusaha diingat sebagai lembaga ZISWAF yang menjangkau seluruh
Indonesia dan punya kapasitas nasional.
Penutup
Kesimpulan
Pajak adalah
suatu kewjiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat
lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional.
Pajak dalam Islam dengan Pajak kapitalis jelas memiliki perbedaan dalam
berbagai bidang, sebagai contoh, pajak dalam islam (dharibah), bersifat
temporer, tidak bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal
tidak ada harta atau kurang. Dan pengelolaan
zakat oleh amil zakat telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah saw.,
pengelolaan dan pendistribusian zakat dilakukan secara melembaga dan
terstruktur dengan baik. Dalam konteks ke-Indonesiaan hal itu tercermin dari
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
di mana dalam Undang-undang tersebut mengatur dengan cukup terperinci
mengenaifungsi, peran dan tanggung jawab Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ).
Daftar Pustaka
M.A.Mannan, Ekonomi Islam: Teori
dan Praktek. Ed. 1. PT Intermasa. Jakarta 1992.
Huda Nurul, Heykal Mohammad, lembaga Keuangan Islam tijauajn teoritis dan
praktis. Cet.1. Jakarta: Kencana 2010.
Sudirman, MA, Zakat dalam Perusahaan arus modernitas.
UIN Malang Press 2007.
[1]
Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para
Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa.
[2]
Sebagaimana dikuti oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak. (Jakarta: Salemba Empat, edisi
3, 2007), hal. 5. Lihat
juga Soemarso, Perpajakan
Pendekatan Komprehensif. (Jakarta:
Salemba Empat, 2007), hal. 2-3
[3] UU No 28 Tahun 2007, pasal 1
[4] Ibrahim
Husein,” Hubungan Zakat dan Pajak di dalam Islam”, dalam zakat dan pajak,
Cet. 2 (Jakarta: Bina Rena Pariwara,1991),140-141.
[5]
Taqiyyudin Abu
Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqi al-Syafi’i, Kifayah
al-akhyar, Jilid 1( surabaya: al-Hidayah, t.th.), 172.
[6]
Didin Hafidhuddin, zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. 1 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002), 51-65.
Komentar
Posting Komentar