Ayat dan Hadist Ekonomi Islam
“Adab dan Etika Ekonomi dalam pandagan
Islam”
Pembahasan
Pengertian Adab
Menurut bahasa adab
memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak. M.
Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab
yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia.
Sedangkan menurut istilah, adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang
dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.[1]
Dari penjelasan diatas dapat diambil
pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya
seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa
seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia
memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan menjadi orang yang
beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan
yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa
yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut
telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia
adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi
dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan
sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang
dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Imam Al-Ghazali sangat menaruh
perhatian kepada pendidikan akhlak. Hal ini dapat dilihat dari perkataan
beliau, “Ketahuilah, bahwa tasawuf itu adalah dua hal, yaitu ketulusan kepada
Allah swt. dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia”.
Al-Ghazali berpendapat bahwa
pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan
jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut
al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan
kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau, “Barangsiapa yang ingin
dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan
perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal
bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan”.
Konsepsi pendidikan modern saat
ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan
suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan
Al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat,
John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan, “Pendidikan moral
terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan
oleh murid secara terus-menerus”.
Oleh karena itu pendidikan
akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan berkegiatan
(learning to do), yang terdiri dari sikap tolong-menolong, berbuat kebajikan
dan melayani orang lain, dapat dipercaya dan jujur. Ahli pendidikan Amerika ini
berpendirian bahwa akhlak tidak dapat diajarkan melalui cara lain kecuali
dengan pembiasaan melakukan perbuatan yang berproses.
Kesimpulannya, bahwa akhlak baik
tidak akan dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat suatu
pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu. Jika seseorang mengulang-ulangi
berbuat sesuatu tertentu maka berkesanlah pengaruhnya terhadap perilakunya dan
menjadi kebiasaan moral dan wataknya.[2]
Ayat dan Hadits Etika (adab)
Dalam Berekonomi
Islam memang menghalalkan usaha
perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang
menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara
khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim
berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di
dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam,
menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam
melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika
perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan
maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia
dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli,
masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun etika perdangangan islam
tersebut antara lain:
1.Shidiq(Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur
dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak
menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar
janji dan lain sebagainya. Tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang
jelas-jelas berdosa, hal ini dapat berpengaruh negatif dalam kehidupan pribadi,
keluarga maupun di dalam perdagangan. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan
tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan
bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap
jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan
sangat jelas dan tegas yang antara lain sebagaimana firman Allah SWT: "Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil". (Q.S Al An’aam(6):
152).
Serta Firman Allah SWT:
"Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan." (Q.S
AsySyu’araa(26): 181-183)
"Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. ItuIah yang
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S Al lsraa(17): 35)
"Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Q.S Ar
Rahmaan(55): 9)
Dengan hanya menyimak ketiga ayat
tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa;
sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada
umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam
menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang,
menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan,
sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada
manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan,
perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya,
nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kebiasaan melakukan kecurangan
menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal
bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula
bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut, merupakan
pencerminan dari sikap dan tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak
dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu
sendiri.
Di samping itu, tindak penyimpangan dan
atau kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan,
merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan
tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jual beli atas dasar suka sama suka,
yang juga telah disahkan oleh agama.
Perampokan, pencurian, pemerasan,
perampasan merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang
dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau
kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan
kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang
melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok
dan perampas atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan
yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.
Dengan demikian, tidak ada bedanya
dengan penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar,
jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula
jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih
di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan Semesta Alam ini." (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di
akhirat kelak –bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan
kecurangan dalam menakar, menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya
Al Qur’an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan
yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak
peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
"Dan (Kami telah mengutus) kepada
penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman". (Q.S Al A’raaf(7): 85)
Firman Allah SWT yang lainnya:
"Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib
dan orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan
orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu
jadilah mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya." (Q.S Hud(11):
94)
Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya
menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan,
kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.
Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut,
nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak di akhirat saja, namun juga
diturunkan di dunia.
Oleh sebab itu,
Rasulullah SAW dalam banyak haditsnya, kerapkali mengingatkan para pedagang
untuk berlaku jujur dalam berdagang. Sabda Rasulullah SAW:
"Wahai para pedagang, hindarilah
kebohongan". (HR. Thabrani)
Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa
pedagang yang jujur dalam melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan
ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan
para Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu
tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga. Sabda Rasulullah SAW:
"Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya)
bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid
pada hari kiamat". (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab
atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah
dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga
amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di
pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa
dalam pandangan Islam setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang,
berniaga dan atau jual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran
tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang
dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan
tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa
kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan
dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang
oleh Islam sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan
para pedagang tersebut adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan
meningkatkan pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan penimbun barang,
merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka
memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Menimbun barang dagangan –terutama
barangbarang kehutuhan pokok dilarang keras oleh Islam. Lantaran perbuatan
tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam
prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh pedagang akan
menimbulkan atau akan diikuti oleh berbagai hal yang negative seperti;
harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali, barang-barang tertentu
sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran terganggu, munculnya para
spekulan yang memanfaatkan kesempatan dengan mencari keuntungan di atas
kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
Ada banyak hadits Rasulullah yang
menyinggung tentang penimbunan barang dagangan, baik dalam bentuk peringatan,
larangan maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah (yang artinya):
"Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang
yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang lain." (HR. Bukhari).
"Barangsiapa
yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya
dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra." (HR. Ahmad).
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan,
seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ini lantaran pasar atau termpat di mana
orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh
dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan
keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
"Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk
tempat adalah pasar". (HR. Thabrani).
"Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk
golonganku". (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut
manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus
benar dan jujur. Jika tidak benar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sebab
itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak
mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada,
semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang
pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah
kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
"Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah.
Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa
disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak
setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah." (HR. lbnu Majaah dan
Aththusi)
Sementara itu, apa yang kita alami
selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang
terutama di pasar-pasar bcbas tidak banyak lagi ditemukan orang yang
memperhatikan etika perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap penjual maupun
pembeli tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, dimana
keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: "Akan
datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang
diambilnya itu dan barang yang halal atau haram." (HR. Bukhari).
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk
selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama
pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah
SWT. Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya;
tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kualitasnya, kuantitasnya,
warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi
layanan, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati
kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang
tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus
ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman
Allah dalam Al Qur’an:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalah
lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah sebaik-baik
pemberi rezeki" (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya
urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang ditangani
sebagai pedagang Muslim janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat.
Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk
mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui
perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak
supaya beruntung.
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW
menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual
beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum,
suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
"Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati
ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak". (HR.
Bukhari)
"Allah
memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah
dan penagihan yang mudah". (HR. Aththahawi)
6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia,
sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat.
Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para
pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata
untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat.
Sehingga jika datang waktu shalat,
mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika
mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah
dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam
yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan
kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan
berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka
para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga
mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.
Keutamaan Mempunyai Etika (adab)
dan Ahlak Mulia
Kedudukan akhlak di dalam Islam sangatlah penting, dan wajib
bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk memiliki akhlak yang
mulia sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan agama
Islam itu merupakan agama akhlak, agama yang mengajarkan tentang tata krama,
adab, dan yang lainnya. Oleh karena itu, terkadang seseorang dengan akhlaknya
bisa mendapatkan penerimaan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Dan banyak
orang yang melihat dan menilai seseorang itu dari tingkah laku dan akhlak
kepribadiannya, sebelum dari hal yang lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan mengutus RasulNya
dengan akhlak yang mulia. Dan akhlak yang mulia inilah yang menjadikan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dijuluki dengan Al-Amin oleh orang-orang
Quraisy pada zaman dahulu. Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa akhlak itu
bukan masalah yang sepele. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahkan bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR At-Tirmidzi)
Syaikh Mushtafa Al-‘Adawiy rahimahullah
berkata:
“Seorang
mukmin, tidak diragukan lagi pasti menginginkan untuk dicintai oleh Penciptanya dan juga dicintai oleh manusia.”
Seorang mukmin juga pastinya menginginkan agar ia bisa hidup
tenteram baik itu di dunia maupun di akhirat. Ia juga suka apabila bisa
diberikan balasan yang terbaik di akhirat nanti dari amalan-amalan yang telah
ia lakukan ketika di dunia. Dan hal ini bukannya suatu yang dilarang, bahkan di
dalam Al-Qur’an terdapat sebuah doa yang mengajarkan kita untuk meminta
kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS Al-Baqarah
[2]: 201).
Salah satu cara agar seorang hamba bisa mendapatkan karunia
dan nikmat dari Allah Ta’ala adalah dengan memiliki akhlak yang mulia.
Karena hamba Allah yang paling baik kelak di hari kiamat adalah mereka yang
memiliki akhlak yang mulia. Dan akhlak mulia inilah yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَإِنَّكِ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar
berakhlak dan berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam [68]: 4)
Komentar
Posting Komentar