Langsung ke konten utama

Islamic Economic and Finance : Kezalian Pajak

Kezaliman Pajak

oleh, Daniar Sami

Di tengah sulitnya hidup masyarakat saat ini pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, justru merencanakan beban baru bagi masyarakat. Rencana baru ini sungguh sesuatu yang tidak lazim dan tak wajar, yaitu mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk pertanian. Pemerintah akan menetapkan produk pertanian menjadi BKP (Barang Kena Pajak). Sebagai BKP semua produk primer, termasuk beras, jagung, kedele, bahkan singkong, akan terkena PPN.
Pengenaan pajak pada produk pertanian hampir tak pernah dilakukan oleh pemerintahan di mana pun. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Uni Eropa bukan saja membebaskannya dari pajak, tetapi juga memberikan subsidi besar-besaran, dalam berbagai bentuk, kepada para petani dan produk pertaniannya. Pemajakan produk pertanian adalah kezaliman yang tak bisa diterima oleh nurani sehat. Inilah esensi dari negara fiskal, sistem politik usurokrasi yang berbasis pada riba, yang kini kita kenal sebagai ”negara modern” ini.
Rasul SAW dengan tegas menyatakan larangan atas pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadisnya (riwayat Ahmad dan Abu Dawud) Rasulullah SAW mengatakan, ”Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai”. Dalam riwayat lain ia mengatakan, ”Sungguh orang yang memungut cukai berada dalam neraka.” Cukai yang dirujuk dalam hadis ini adalah sejenis pajak pertambahan nilai, yang disebut sebagai al ’asyir, yang nilainya adalah 10%. Di zaman kita kini PPN umumnya dikenakan sebesar antara 10%-15%.
Pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh satu pihak, yang merusak transaksi muamalat, dan menambah harga yang tidak ada imbal-baliknya. Pajak adalah riba yang diharamkan dalam Islam. Allah SWT melarang perolehan harta seseorang dengan cara memaksa, kecuali atas dasar perdagangan sukarela. Allah SWT berfirman, ”Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan sukarela” (An Nisa, 29). Dalam Surat Al A’raf ayat 86, secara lebih eksplisit, Allah SWT melarang pemajakan: ”Janganlah kamu duduk di tepi jalan dengan mengancam dan menghalang-halangi orang beriman di jalan Allah dan membelokkannya.”
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah menegaskan ”Pemalakan di jalan-jalan dan menghalangi akses orang kepada jalan umum adalah haram.” Ketika mengatakan hal itu Rasul SAW sambil mengutip ayat di atas. Para mufassir menjelaskan makna ”mengancam dan manghalang-halangi” dalam ayat ini sebagai pemajakan atau pemalakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan oleh para pemalak ini adalah 10% atau lebih.
Dulu para pemalak mengancam para pedagang secara fisik, yang tentu saja merupakan perbuatan kriminal. Para pemalak di jalanan dikejar-kejar para Muhtasib, para pengawas pasar, dan dibawa ke mahkamah untuk diadili. Kini, dalam sistem politik riba, yang terjadi adalah sebaliknya: para pedagang (yang tak mau menyerahkan pajak) diancam hukuman penjara, sementara para pemalaknya dilindungi undang-undang.
Para penarik pajak, yang tak lain adalah perampasan yang dilegalkan, berdalih bahwa pajak diperlukan untuk membiayai kepentingan umum: pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan dan sebagainya. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab hampir seluruh anggaran belanja pemerintah dibiayai dari utang dari para rentenir asing. Sebaliknya, dalam kenyatannya untuk negeri-negeri seperti Indonesia ini, hampir tak ada layanan publik yang memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pajak dipaksa ditarik dari setiap orang untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus berlipat ganda. Untuk membayar bunga dan cicilannya saja pun, seluruh pajak yang ditarik itu masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal lagi dengan utang baru.
Lihatlah para birokrat negara fiskal yang setiap tahun menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan dalih untuk pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan sebagainya) tadi, dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada para kreditor. Negara menjamin kepada para bankir atas (pengembalian) utang ini dari pembebanan pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu saja, dengan sangat mudah memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun nilainya, dengan cara mencetak kredit ex nihilo: mencetak angka-angka dalam buku atau sebagai byte dalam layar komputer (baca juga: Pat Gulipat Bank Ketupat). Dari sinilah kita disodori suatu trick yang dikenal sebagai ’Utang Negara’ (Public Debt) yang tak lain merupakan konspirasi kaum rentenir dengan para birokrat kompradornya.
Jelas, dari zaman jahiliyah dulu sampai kini, pajak adalah saudara kembar riba, yang haram hukumnya. Pajak zaman modern bahkan jauh lebih keji dan zalim dari pajak masa lalu, karena jenis dan ragamnya yang semakin luas dan memberatkan. Pajak bagai laut tak bertepi: dari pajak atas tanah dan bangunan, lalu pajak atas kerja keras dan cucuran keringat (pajak penghasilan) karena tak semua orang memiliki tanahdan bangunan, pajak atas barang konsumei (pajak pertambahan nilai) karena tak semua orang memiliki penghasilan yang cukup untuk dipajaki, bea dan cukai, pajak tontonan, pajak hiburan, pajak jalan, begitu seterusnya. Secara keseluruhan sistem perpajakan dirancang untuk melestarikan sistem riba yang berlaku itu.
Di sinilah kembali kita melihat kemuliaan harta wakaf dengan sedekah jariah yang diperoleh darinya. Dengan harta wakaf lah berbagai kepentingan umum bagi masyarakat selalu dapat dipenuhi. Secara historis di dalam masyarakat Muslim jasa-jasa sosial seperti pendidikan, layanan kesehatan, penyediaan jalan-jalan raya dan jembatan, taman-taman kota, sumber air bersih, padang rumput, dan sebagainya, semuanya berupa wakaf. Ketika wakaf subur, masyarakat makmur. Pungutan dan pajak, serta berbagai bentuk praktek riba lainnya, adalah bentuk-bentuk penyimpangan sosial yang tak boleh ditolerir. Apalagi sampai dikenakan pada perdagangan singkong.
Dan, ingatlah, wahai para penarik cukai dan pajak, panasnya api neraka menanti Anda.

Repost dari Fb. IAEI
Kezaliman Pajak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat dan Hadist Akutansi Syariah

Ayat dan Hadist tentang Akuntansi Syariah : upaya mewujudkan sistem pencatatan yang sesuai dengan prinsip syariah Pendahuluan Akuntansi adalah serangkaian proses yang memiliki tujuan utama yaitu menyajikan informasi keuangan dalam periode tertentu yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan baik dalam bank syariah maupun diluar bank syariah. Kemunculan bank syariah sebagai organisasi yang relative baru menimbulkan tantangan besar.para pakar syariah Islam dan akuntansi harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi yang berbeda dengan standar akuntansi bank konvensional seperti telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut menjadi kunci sukses bank syariah dalam melayani masyarakat disekitarnya sehingga, seperti lazimnya, harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Partanyaan ini begitu menggelitik, kare...

Hukum Jual beli organ tubuh dalam ekonomi islam

Kapita Selekta Hukum Ekonomi Islam “Hukum Jual Beli Organ Tubuh”   Pembahasan Pengertian Transplantasi                  Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia menyatakan bahwa. “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang tidak berfungsi dengan baik.” Adapun tujuan transplantasi menurut Pasal 64 ayat (2) dan ayat ( 3 ), Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah : Transplantasi organ dan / atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang di...

Akuntansi Syariah

Akuntansi Syariah Pendahuluan Ajaran normatif agama sejak awal keberadaan Islam telah memberikan persuasi normative bagi para pemeluknya untuk melakukan pencatatan atas segala transaksi dengan benar/adi sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an   Al-Baqarah (2:282). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan dituli...